Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun

A.   Sejarah singkat Ibnu Khaldun
        Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Khalid ibn 'Usman ibn Hani ibn al-Kathab ibn Kuraib ibn Ma'dikarib ibn Harish ibn Wail ibn Hujr. Nama Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama kakeknya  yang  ke  sembilan,  yaitu al-Khalid. Khalid  ibn  Usman  adalah nenek-moyangnya  yang  pertama  kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla,  dan  Granada. Kemudian  keturunan  Khalid  di  Andalusia  ini  dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun.
        Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Fase pertama Ibn Khaldun dihabiskan di Tunisia dalam jangka waktu 18 tahun, anara  tahun 1332  sampai  1350.  Pada waktu  iu,  ayah Ibn  Khaldun  adalah guru  pertamanya yang  telah  mendidiknya  secara tradisional  mengajarkan  dasardasar agama  Islam.  Muhammad  ibn Muhammad,  ayah  Ibn  Khaldun,  adalah seorang  yang  berpengetahuan  agama yang  tinggi.  Pendidikan  Ibn  Khaldun yang dilakukan ayahnya tidak berlangsung lama, karena ayahnya meninggal  dunia pada tahun 1349. Semenjak kematian ayahnya, Ibn Khaldun mulai belajar mandiri dan bertanggung  jawab.  Dari sinilah  Ibn  Khaldun  mulai  hidup  sebagai manusia dewasa yang tidak menggantungkan diri kepada keluarganya.
        Selain dari ayahnya, Ibn Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan  dari  para  gurunya  di  Tunis. Ibn  Khaldun  menyebutkan  beberapa gurunya  yang  berjasa  dalam perkembangan  intelektualnya,  di antaranya  Abu 'Abdillah  Muhammad  ibn Sa'id  al-Anshari  dan  Abu  al-'Abas  Ahmad ibn Muhammad  al-Batharni  dalam  ilmu qira'at;  Abu  'Abdillah  ibn  al-'Arabi alHashayiri dan Abu al-'Abbas Ahmad ibn al-Qashar dalam ilmu gramatika Arab;  Abu 'Abdillah  Muhammad  ibn  Bahr  dan  Abu 'Abdillah  ibn  Jabir  al-Wadiyasyi dalam ilmu sastra; Abu 'Abdillah ibn 'Abdillah  al-Jayyani dan Abu 'Abdillah ibn 'Abd Salam dalam ilmu fiqh; Abu Muhammad ibn 'Abd Muhaimin al -Hadhrami dalam ilmu hadis; Abu al-'Abbas Ahmad al-Zawawi dalam ilmu tafsir; dan Abu 'Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili dalam bidang  'ulum 'aqliyyah, seperti filsafat, logika, dan metafisika.
        Pada  fase  kedua  Ibn  Khaldun berpindah  dari  satu  tempat  ke  tempat lainnya,  seperti  di  Fez,  Granada,  Bougie, Biskara,  dan  lain-lain  dalam  jangka waktu 32 tahun antara tahun 1350 sampai 1382 M. Pendidikan yang diterima Ibn Khaldun,  baik  dari  orang  tuanya  sendiri maupun  dari  para  gurunya,  sangat mempengaruhi  perkembangan intelektualnya.  Oleh  karena  itu,  mudah dipahami mengapa Ibn Khaldun mengalami kesedihan yang mendalam ketika terjadi wabah pes yang secara epidemik telah menyerang belahan dunia bagian Timur dan Barat. Semenjak peristiwa  inilah  Ibn  Khaldun  terpaksa menghentikan  belajarnya  dan mengalihkan pada bidang pemerintahan.
        Karir  pertama  Ibn  Khaldun  daam bidang  politik  pemerintahan  adalah sebagai  Shabib al-'Allamah  (Penyimpan Tanda Tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin di Tunisia. Setelah itu, Ibn Khaldun menjadi Sekretaris Kesultanan di Fez, yaitu Abu 'Inan yang menjadi raja Maroko. Di kota inilah Ibn Khaldun memulai karirnya dalam dunia politik praktis pada tahun 1345. Selama delapan  tahun  tinggal  di  Fez,  banyak perilaku  politik  yang  telah  dilakukan  Ibn Khaldun.  Ibn  Khaldun  pernah  merasakan penjara  selama  21  bulan  yang disebabkan  kecurigaan  Sultan  'Inan,  dan kemudian  dibebaskan  oleh  Abu  Salim saat  menjabat  sebagai  Sultan  Maroko. Karena  kekacauan  politik  yang  terjadi  di Fez, Ibn Khaldun akhirnya memantapkan diri pergi dari Fez dan pergi ke Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26 Desember 1362 M. Setahun  berikutnya, Ibn Khaldun  ditunjuk  oleh  raja  Granada, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Yusuf ibn Isma'il ibn Ahmar, sebagai duta ke istana raja Pedro  El  Curel,  raja  Kristen  Castilla  di Sevilla.  Sebagai  seorang  diplomat  yang ditugaskan  untuk  mengadakan  perjanjian damai  antara  Granada  dengan  Sevilla. Karena  keberhasilan  yang  luar  biasa dalam  menjalankan  tugas  diplomatiknya, Raja Muhammad  memberikan  kepada  Ibn Khaldun  tempat  dan  kedudukan  yang semakin  penting  di  Granada.  Jabatan yang  diduduki  Ibn  Khaldun  ternyata telah menyebabkan rasa iri beberapa pihak, termasuk sahabatnya sendiri yang menjadi perdana menteri, Ibn al-Khathib. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ibn Khaldun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afrika Utara. Di Afrika Utara, beberapa  kali  Ibn  Khaldun  mendapat tawaran  jabatan  politik  dari  para  Amir (Gubernur), dan untuk ke sekian kalinya Ibn Khaldun berpindah tangan dari satu penguasa ke penguasa lainnya.
        Setelah  sekian  lama  malang melintang  dalam  dunia  politik  praktis yang penuh  resiko  dan  tantangan,  Ibn Khaldun  sampai  pada  suatu  kesimpulan bahwa bergerak dalam dunia ini, meskipun memiliki dinamika sendiri, tidak membawa ketenteraman dan kebahagiaan bagi diri dan keluarga. Ibn Khaldun merasa jenuh dan  lelah  untuk  terus  terlibat  dalam urusan  politik.  Naluri  kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak dan tantangan. Pada kondisi  jiwa  seperti inilah ibn  Khaldun  memasuki  suatu  tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibn Khaldun.
        Masa  khalwat  ini  dialami  Ibn  Khaldun  dalam  jangka  empat  tahun  dari tahun  1374  sampai  1278  M.  Ibn  Khaldun mengasingkan  diri  di  suatu  tempat terpencil  yang  dikenal  dengan  sebutan Qal'at  Ibnu  Salamah.  Di  tempat  ini  Ibn Khaldun  dapat  terbebas  dari  kesusahan dan  hura-hura  politik.  Dalam  masa pengunduran  diri  inilah  Ibn  Khaldun berhasil  merampungkan  karyanya alMuqaddimah, yang populer dengan sebutan Muqaddimah Ibn Khaldun.
Setelah  al-Muqaddimah  rampung  ditulis, pada  tahun  1378,  Ibn  Khaldun meninggalkan  Qal'at  Ibn  Salamah menuju Tunis.  Ada  beberapa  alasan  mengapa Ibn Khaldun  kembali  ke  Tunis.  Kebanyakan sejarawan  menjelaskan  bahwa kembalinya  Ibn  Khaldun  ke  Tunis  adalah karena  didorong  oleh  keinginannya untuk menyelesaikan  Kitab  al-Ibar-nya.  Tunis dipandang  oleh  Ibn  Khaldun sebagai kota paling tepat, karena memiliki banyak perpustakaan yang kaya akan referensi yang diperlukannya. Di samping itu, kerinduan Ibn Khaldun akan Tunis sebagai kota tempat kelahirannya dan kerinduannya akan kehidupan politik juga dapat dijadikan alasan lain dalam masalah ini.
        Kerinduan  Ibn  Khaldun  akan  kota kelahirannya  tidak  dapat  berlangsung lama,  karena  beberapa  temannya memperlihatkan  sikap  bermusuhan kepadanya. Oleh karena itu, Ibn Khaldun memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji. Ibn  Khaldun  meninggalkan Tunis  pada  28  Oktober  1382  menuju kota Makkah. Dalam  perjalanannya  menuju Makkah,  ia  menyempatkan  diri  untuk singgah  di Kairo.  Dengan  kepergiannya ke Kairo  ini,  maka  berakhirlah  petualangan Ibn Khaldun sebagai seorang politikus yang banyak terlibat dalam intrik politik. Masa ini merupakan fase ketiga dari tahapan kehidupan Ibn Khaldun. Fase ini dihabiskan di Mesir selama kurang lebih 24 tahun, yaitu antara 1382 sampai 1406  M. Fase  ini  dapat  dikatakan  sebagai  masa pengabdian  Ibn  Khaldun  dalam bidang akademik  dan  pengadilan.  Ibn  Khaldun tiba  di  Kairo,  Mesir,  pada  6 Januari 1382 M. Mesir ketika itu berada dalam kekuasaan dinasti Mamluk. Pada masa ini telah dikembangkan hubungan perdagangan dengan raja-raja Kristen di Eropa.  Oleh  karena  itu,  wajar  apabila Ibn Khaldun  merasa  kagum  dengan kemajuan peradaban yang telah dicapai Kairo.
        Selain  berkarya  dalam  dunia akademik,  Ibn  Khaldun  juga  melakukan kegiatan-kegiatan  yang  berkaitan  dengan reformasi  hukum.  Pada  tanggal  8 Agustus 1384, Ibn Khaldun diangkat oleh Sultan Mesir, al-Zahir Barquq, sebagai Hakim Agung  Mazhab  Maliki  pada  Mahkamah Mesir.  Jabatan  yang  dipangku dengan penuh  tanggung  ini  dimanfaatkan  Ibn Khaldun  untuk  melakukan reformasi dalam bidang hukum. Akan tetapi, reformasi ini ternyata telah membuat banyak  fihak  yang  dirugikan  yang kemudian  menjadi  marah  dan  dengki kepadanya. Akibat fitnah yang dituduhkan kepadanya Ibn Khaldun pun, meskipun tidak terbukti bersalah, ia mengundurkan diri dari jabatan itu.
        Pada tahun 1387, rencana Ibn Khaldun yang tertunda, yakni menunaikan ibadah haji  baru  dapat  dilaksanakan.  Sepulang dari  ibadah  haji,  Ibn  Khaldun diangkat lagi  sebagai  Hakim  Agung  Mahkamah Mesir.  Sultan  yang  berkuasa  di Mesir ketika  itu  adalah  Nashir  Faraj,  putera Sultan  Barquq.  Pada  masa  ini,  ia sempat berkunjung  ke  Damaskus  dan  Palestina menyertai  Sultan  dalam  rangka kunjungan untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan tentara Mongol. Ibn Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman para sufi di luar Bab alNashir, Kairo.

B.  Siklus Umran
        Ibn  Khaldun  memakai  istilah umran yang  dalam kesarjanaan  modern diterjemahkan  sebagai  peradaban. Dia menemukan  sebuah pola  tumbuh-kembang  peradaban.  Peradaban  akan berkembang  sangat  ditentukan oleh adanya sentimen primordial atau solidaritas sosial. Dia menyebutnya Ashabiyah. Adanya  perasaan  senasib sepenanggungan  menyebabkan  sentimen primordial  itu menjadi  demikian  kuat. Masyarakat  nomaden  memiliki  sentimen primordial  jauh lebih kuat daripada masyarakat kota yang tinggal menetap.
        Menurut  Ibn  Khaldun,  puncak  dari Ashabiyyah  adalah  terbentuknya  otoritas politik  (dawlah).  Bertahan  tidaknya sebuah  negara tergantung  kepada  sejauh mana  solidaritas  primordial  itu  tetap terjaga. Tetapi, dawlah  justru menjadi pintu masuk kepada rusaknya sentimen primordial. Karena  pembentukan  dawlah berarti  mengakhiri  masa-masa  sulit  dan dimulainya  hidup  menetap  di  kota.  Itu artinya  kemewahan  menjadi  realitas yang dinikmati.  Pada  saat  itulah,  suatu  Negara mengalami  fase  ketiga yaitu kemunduran dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan adalah penyebabnya. Ia menemukan bahwa semua otoritas politik memiliki karakter utama yang sama, yakni keinginan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya.
        Menurut Ibn Khaldun penguasa cenderung otoriter, maka diperlukan penegakan hukum agama. Kekuasaan akan bisa diselamatkan dari tangan penguasa yang otoriter jika negara itu bersandar kepada hukum agama. Harus diketahui bahwa agama pada masa itu sesungguhnya adalah peradaban dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Sebelumnya para pemikir Yunani hampir sepakat bahwa kekuasaan politik (negara) tidak berdasar kepada otoritas orang per orang, melainkan kepada apa yang disebut isonomia. Konsep isonomia inilah yang di zaman modern disebut sebagai rule of law (hukum). Inggris modern adalah contoh terbaik di mana negara berdiri di atas rule of law.

C.  Umran dan Spesialisasi Profesi
        Umran dapat dimaknai juga sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai  “umran” oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.
        Judul fasal ini adalah “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme”. Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.
        Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).
        Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah).
Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i” bentuk plural dari :shani’ah” yang dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-ulum” atau ilmu.
Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-ulum” dan “al-shana’i”. Begitu pula saat umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya :
a) “jazzar”yakni profesi penyembelihan       hewan,
b) “dabbagh” yakni penyamakan atau     pengolahan kulit,
c) “kharraz” yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian,
d) “sha’igh” yakni jewellery atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan,
e) “dahhan” pembuatan parfum,
f) “shaffar” yakni pengolahan kuningan,
g) “al-hammami” yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu),
h) “al-tabbakh” yakni usaha restoran,
i) “shamma” yakni kerajinan lilin,
j) “al-harras” usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.
        Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’al-thubul ala al-tauqi’. Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun” yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam.
        Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu. Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah” yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.
        Observasi Ibn Khaldun ini jelas bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih. Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya dan menggantinya dengan kecakapan baru.
        Hal ini menurut Ibn Khaldun bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.
        Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual.
        Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam umran atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.
Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.

D.  Khaldun dan Ilmu Ekonomi
        Pengamatan Ibn Khaldun yang jeli dan kemampuannya untuk membuat ekstrapolasi ini terutama mengaitkan antara gejala umran dengan kegiatan ekonomi membuat karya historisnya dapat menjadi bahan pengkajian ilmu ekonomi. Pemikirann tentang spesialisasi seperti telah dikemukakan di atas merupakan salah satu hal yang penting dalam ilmu ekonomi, terutama mengenai “pembagian kerja” yang baru dikemukakan Adam Smith 200 tahun kemudian, itupun sebagai efek dari perdagangan bebas yang diasumsikannya dapat berkembang baik.
Pemikiran Ibn Khaldun yang lain mengenai ilmu ekonomi berkisar pada hal-hal berikut ini :
1.    Spesialisasi lahir dari kerjasama 
Pemikiran Khaldun menegaskan satu logika pertumbuhan ekonomi yang khas:
a) Agama merekatkan ashabiyyah (sentiment sosial)
b) Ashabiyyah menciptakan kerjasama antar orang
c) Kerjasama akan memaksa lahirnya spesialisasi dan kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat
d) Kelebihan dari pemenuhan kebutuhan sendiri akan membuat masyarakat itu dapat mengekspor dan akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
2. Kemajuan ekonomi ditentukan oleh solidaritas ashabiyah, demografi, teknologi, dan lembaga hukum & pendidikan yang menunjang keilmuan-keahlian
Ibn Khaldun mengemukakan bahwa perubahan kemajuan menyebabkan perubahan struktur kelembagaan ekonomi dan teknologi. Keahlian dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan akan naiknya standard kehidupan sehingga membutuhkan lembaga pendidikan keahlian yang khas dan baru. Ini berarti pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengembangan lembaga dalam masyarakat, baik publik maupun swasta, untuk mendukung dan menyebar pengetahuan ilmiah.
Ini adalah pemikiran yang menarik dalam ekonomi. Bila semula Khaldun hanya menyatakan bahwa spesialisasi, pembagian kerja, pertukaran pribadi, dan masyarakat menghasilkan teknologi dan kenaikan skala ekonomi, maka pada bagian ini ia mengajukan perlunya perubahan lembaga keilmuan yang berorientasi pada keahlian.
Ibn Khaldun menulis: “The owner of property and conspicuous wealth in a given civilization needs a protective force to defend him” (2:250) “Para pemilik harta dan kekayaan yang besar dalam suatu peradaban membutuhkan kekuatan pelindung untuk membela dirinya” (2:250).
Ini adalah fakta yang diterima bahwa perekonomian tidak dapat berkembang tanpa perlindungan terhadap hak kekayaan, intelektual maupun fisik. Pelanggaran hak-hak milik pribadi oleh pemerintah atau pihak swasta lainnya akan menyebabkan pengurangan insentif sektor swasta untuk memproduksi dan akan mengurangi aktivitas ekonomi. Di sinilah perlunya peran pemerintah dalam memberikan jaminan keamanan dalam pembentukan lembaga pemberi jaminan hukum.
3. Nafsu  Mementingkan  Diri  Sendiri  akan  Menghasilkan  Kehancuran Ekonomi
Pemikiran Khaldun mengenai penyebab tumbuh dan matinya peradaban dapat menjadi dasar bagi rumusan tesis ini, bahwa nafsu mementingkan diri sendiri justru menjadi penyebab jatuhnya perekonomian.

“It should be known that at the beginning of a dynasty, taxation yield large revenue  from small  assessments.  At  the  end  of  the dynasty,  taxation  yield  a small revenue from large assessment.”(2:80)
"Perlu diketahui bahwa pada awal dinasti, hasil pendapatan perpajakan besar dari  kegiatan  usaha  kecil.  Pada  akhir  dinasti,  perpajakan  menghasilkan pendapatan kecil dari kegiatan usaha besar "(2:80)

“In the latter years of the dynasty (taxation) may become excessive. Business fall off and all hopes (of profit) are destroyed.”
"Pada tahun-tahun terakhir dari dinasti (perpajakan) dapat menjadi berlebihan. Bisnis jatuh dan semua harapan (keuntungan) yang hancur. "
Penyebabnya adalah nafsu  memenuhi keuntungan  pribadi  dan  menguasai semua  hal  untuk kepentingan pribadi.

The  corrupting  influence  of  power demoralizes  the  social  system  and produces  a  climate of thought  and  emotion in which assabiyah becomes ineffectual. The frequent misuse of power leaves the masses depressed and they drift towards deceit and treachery.”
"Pengaruh  merusak  daya mendemoralisasi  sistem  sosial  dan menghasilkan iklim pemikiran dan emosi di mana assabiyah menjadi tidak efektif. Penyalahgunaan  kekuasaan  sering meninggalkan  massa  tertekan dan mereka melayang ke arah penipuan dan pengkhianatan. "

“The trouble and financial difficulty and the loss of profit which it causes the subjects takes away all incentives to effort, thus ruining the fiscal structure. The trading of the ruler may cause the destruction of civilization” (2:95)
"Masalah  dan  kesulitan  keuangan  dan kehilangan  keuntungan  yang menyebabkan  subyek  mengambil  semua insentif  untuk  usaha  pribadinya, sehingga merusak struktur fiskal. Perdagangan penguasa dapat menyebabkan kehancuran peradaban (2:95)

“ Commercial activity on the part of the ruler is harmful to his subjects and ruinous to the tax revenue. Competition between them (the subjects) already exhausttheir  financial resources.  Now  when  the  ruler;  who  has so  much more money than they, competes with them, scarcely a single one of them will be able to  obtain the things he want (the subject) thus exhaust his capital and has to go out of business.” 2:83-85
"Kegiatan Komersial  yang dilakukan penguasa berbahaya bagi rakyatnya dan menghancurkan  sector  penerimaan  pajak. Persaingan  di  antara  mereka (subyek) akan  menghilangkan sumber  daya keuangan  mereka.  Sekarang ketika penguasa;  yang  memiliki  begitu  banyak uang  lebih  dari  mereka, bersaing  dengan mereka,  nyaris  tidak  satu  pun  dari mereka  akan  dapat memperoleh  hal-hal yang  dia  inginkan sehingga  buang-buang modal  dan keluar dari bisnis. "2:83-85

“Were the ruler to compare the revenue from taxes with the small profit (it reaps from trading) it would find the latter negligible in comparison with the former” 
"Pada  saat  penguasa  membandingkan pendapatan  dari  pajak  dengan keuntungan  kecil  (menuai  dari penjualan) ia  akan  mengutamakan  yang terakhir dan mengabaikan pajak"

Sumber :
Annes, Bambang Q. Dan M.Anthon Athoillah. Tanpa Tahun.” Filsafat Ekonomi Islam”.Tanpa Kota: Sahifa.

Comments

Popular posts from this blog

Memperkenalkan Keluarga dgn Bahasa Jerman

Kota-kota Terindah di Jerman