Pemikiran Ekonomi Ibnu Khaldun
A. Sejarah singkat Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Khalid ibn 'Usman ibn Hani ibn al-Kathab ibn Kuraib ibn Ma'dikarib ibn Harish ibn Wail ibn Hujr. Nama Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ke sembilan, yaitu al-Khalid. Khalid ibn Usman adalah nenek-moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada. Kemudian keturunan Khalid di Andalusia ini dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Fase pertama Ibn Khaldun dihabiskan di Tunisia dalam jangka waktu 18 tahun, anara tahun 1332 sampai 1350. Pada waktu iu, ayah Ibn Khaldun adalah guru pertamanya yang telah mendidiknya secara tradisional mengajarkan dasardasar agama Islam. Muhammad ibn Muhammad, ayah Ibn Khaldun, adalah seorang yang berpengetahuan agama yang tinggi. Pendidikan Ibn Khaldun yang dilakukan ayahnya tidak berlangsung lama, karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1349. Semenjak kematian ayahnya, Ibn Khaldun mulai belajar mandiri dan bertanggung jawab. Dari sinilah Ibn Khaldun mulai hidup sebagai manusia dewasa yang tidak menggantungkan diri kepada keluarganya.
Selain dari ayahnya, Ibn Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para gurunya di Tunis. Ibn Khaldun menyebutkan beberapa gurunya yang berjasa dalam perkembangan intelektualnya, di antaranya Abu 'Abdillah Muhammad ibn Sa'id al-Anshari dan Abu al-'Abas Ahmad ibn Muhammad al-Batharni dalam ilmu qira'at; Abu 'Abdillah ibn al-'Arabi alHashayiri dan Abu al-'Abbas Ahmad ibn al-Qashar dalam ilmu gramatika Arab; Abu 'Abdillah Muhammad ibn Bahr dan Abu 'Abdillah ibn Jabir al-Wadiyasyi dalam ilmu sastra; Abu 'Abdillah ibn 'Abdillah al-Jayyani dan Abu 'Abdillah ibn 'Abd Salam dalam ilmu fiqh; Abu Muhammad ibn 'Abd Muhaimin al -Hadhrami dalam ilmu hadis; Abu al-'Abbas Ahmad al-Zawawi dalam ilmu tafsir; dan Abu 'Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili dalam bidang 'ulum 'aqliyyah, seperti filsafat, logika, dan metafisika.
Pada fase kedua Ibn Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez, Granada, Bougie, Biskara, dan lain-lain dalam jangka waktu 32 tahun antara tahun 1350 sampai 1382 M. Pendidikan yang diterima Ibn Khaldun, baik dari orang tuanya sendiri maupun dari para gurunya, sangat mempengaruhi perkembangan intelektualnya. Oleh karena itu, mudah dipahami mengapa Ibn Khaldun mengalami kesedihan yang mendalam ketika terjadi wabah pes yang secara epidemik telah menyerang belahan dunia bagian Timur dan Barat. Semenjak peristiwa inilah Ibn Khaldun terpaksa menghentikan belajarnya dan mengalihkan pada bidang pemerintahan.
Karir pertama Ibn Khaldun daam bidang politik pemerintahan adalah sebagai Shabib al-'Allamah (Penyimpan Tanda Tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin di Tunisia. Setelah itu, Ibn Khaldun menjadi Sekretaris Kesultanan di Fez, yaitu Abu 'Inan yang menjadi raja Maroko. Di kota inilah Ibn Khaldun memulai karirnya dalam dunia politik praktis pada tahun 1345. Selama delapan tahun tinggal di Fez, banyak perilaku politik yang telah dilakukan Ibn Khaldun. Ibn Khaldun pernah merasakan penjara selama 21 bulan yang disebabkan kecurigaan Sultan 'Inan, dan kemudian dibebaskan oleh Abu Salim saat menjabat sebagai Sultan Maroko. Karena kekacauan politik yang terjadi di Fez, Ibn Khaldun akhirnya memantapkan diri pergi dari Fez dan pergi ke Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26 Desember 1362 M. Setahun berikutnya, Ibn Khaldun ditunjuk oleh raja Granada, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Yusuf ibn Isma'il ibn Ahmar, sebagai duta ke istana raja Pedro El Curel, raja Kristen Castilla di Sevilla. Sebagai seorang diplomat yang ditugaskan untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Sevilla. Karena keberhasilan yang luar biasa dalam menjalankan tugas diplomatiknya, Raja Muhammad memberikan kepada Ibn Khaldun tempat dan kedudukan yang semakin penting di Granada. Jabatan yang diduduki Ibn Khaldun ternyata telah menyebabkan rasa iri beberapa pihak, termasuk sahabatnya sendiri yang menjadi perdana menteri, Ibn al-Khathib. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ibn Khaldun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afrika Utara. Di Afrika Utara, beberapa kali Ibn Khaldun mendapat tawaran jabatan politik dari para Amir (Gubernur), dan untuk ke sekian kalinya Ibn Khaldun berpindah tangan dari satu penguasa ke penguasa lainnya.
Setelah sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis yang penuh resiko dan tantangan, Ibn Khaldun sampai pada suatu kesimpulan bahwa bergerak dalam dunia ini, meskipun memiliki dinamika sendiri, tidak membawa ketenteraman dan kebahagiaan bagi diri dan keluarga. Ibn Khaldun merasa jenuh dan lelah untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak dan tantangan. Pada kondisi jiwa seperti inilah ibn Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibn Khaldun.
Masa khalwat ini dialami Ibn Khaldun dalam jangka empat tahun dari tahun 1374 sampai 1278 M. Ibn Khaldun mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang dikenal dengan sebutan Qal'at Ibnu Salamah. Di tempat ini Ibn Khaldun dapat terbebas dari kesusahan dan hura-hura politik. Dalam masa pengunduran diri inilah Ibn Khaldun berhasil merampungkan karyanya alMuqaddimah, yang populer dengan sebutan Muqaddimah Ibn Khaldun.
Setelah al-Muqaddimah rampung ditulis, pada tahun 1378, Ibn Khaldun meninggalkan Qal'at Ibn Salamah menuju Tunis. Ada beberapa alasan mengapa Ibn Khaldun kembali ke Tunis. Kebanyakan sejarawan menjelaskan bahwa kembalinya Ibn Khaldun ke Tunis adalah karena didorong oleh keinginannya untuk menyelesaikan Kitab al-Ibar-nya. Tunis dipandang oleh Ibn Khaldun sebagai kota paling tepat, karena memiliki banyak perpustakaan yang kaya akan referensi yang diperlukannya. Di samping itu, kerinduan Ibn Khaldun akan Tunis sebagai kota tempat kelahirannya dan kerinduannya akan kehidupan politik juga dapat dijadikan alasan lain dalam masalah ini.
Kerinduan Ibn Khaldun akan kota kelahirannya tidak dapat berlangsung lama, karena beberapa temannya memperlihatkan sikap bermusuhan kepadanya. Oleh karena itu, Ibn Khaldun memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji. Ibn Khaldun meninggalkan Tunis pada 28 Oktober 1382 menuju kota Makkah. Dalam perjalanannya menuju Makkah, ia menyempatkan diri untuk singgah di Kairo. Dengan kepergiannya ke Kairo ini, maka berakhirlah petualangan Ibn Khaldun sebagai seorang politikus yang banyak terlibat dalam intrik politik. Masa ini merupakan fase ketiga dari tahapan kehidupan Ibn Khaldun. Fase ini dihabiskan di Mesir selama kurang lebih 24 tahun, yaitu antara 1382 sampai 1406 M. Fase ini dapat dikatakan sebagai masa pengabdian Ibn Khaldun dalam bidang akademik dan pengadilan. Ibn Khaldun tiba di Kairo, Mesir, pada 6 Januari 1382 M. Mesir ketika itu berada dalam kekuasaan dinasti Mamluk. Pada masa ini telah dikembangkan hubungan perdagangan dengan raja-raja Kristen di Eropa. Oleh karena itu, wajar apabila Ibn Khaldun merasa kagum dengan kemajuan peradaban yang telah dicapai Kairo.
Selain berkarya dalam dunia akademik, Ibn Khaldun juga melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan reformasi hukum. Pada tanggal 8 Agustus 1384, Ibn Khaldun diangkat oleh Sultan Mesir, al-Zahir Barquq, sebagai Hakim Agung Mazhab Maliki pada Mahkamah Mesir. Jabatan yang dipangku dengan penuh tanggung ini dimanfaatkan Ibn Khaldun untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum. Akan tetapi, reformasi ini ternyata telah membuat banyak fihak yang dirugikan yang kemudian menjadi marah dan dengki kepadanya. Akibat fitnah yang dituduhkan kepadanya Ibn Khaldun pun, meskipun tidak terbukti bersalah, ia mengundurkan diri dari jabatan itu.
Pada tahun 1387, rencana Ibn Khaldun yang tertunda, yakni menunaikan ibadah haji baru dapat dilaksanakan. Sepulang dari ibadah haji, Ibn Khaldun diangkat lagi sebagai Hakim Agung Mahkamah Mesir. Sultan yang berkuasa di Mesir ketika itu adalah Nashir Faraj, putera Sultan Barquq. Pada masa ini, ia sempat berkunjung ke Damaskus dan Palestina menyertai Sultan dalam rangka kunjungan untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan tentara Mongol. Ibn Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman para sufi di luar Bab alNashir, Kairo.
B. Siklus Umran
Ibn Khaldun memakai istilah umran yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai peradaban. Dia menemukan sebuah pola tumbuh-kembang peradaban. Peradaban akan berkembang sangat ditentukan oleh adanya sentimen primordial atau solidaritas sosial. Dia menyebutnya Ashabiyah. Adanya perasaan senasib sepenanggungan menyebabkan sentimen primordial itu menjadi demikian kuat. Masyarakat nomaden memiliki sentimen primordial jauh lebih kuat daripada masyarakat kota yang tinggal menetap.
Menurut Ibn Khaldun, puncak dari Ashabiyyah adalah terbentuknya otoritas politik (dawlah). Bertahan tidaknya sebuah negara tergantung kepada sejauh mana solidaritas primordial itu tetap terjaga. Tetapi, dawlah justru menjadi pintu masuk kepada rusaknya sentimen primordial. Karena pembentukan dawlah berarti mengakhiri masa-masa sulit dan dimulainya hidup menetap di kota. Itu artinya kemewahan menjadi realitas yang dinikmati. Pada saat itulah, suatu Negara mengalami fase ketiga yaitu kemunduran dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan adalah penyebabnya. Ia menemukan bahwa semua otoritas politik memiliki karakter utama yang sama, yakni keinginan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya.
Menurut Ibn Khaldun penguasa cenderung otoriter, maka diperlukan penegakan hukum agama. Kekuasaan akan bisa diselamatkan dari tangan penguasa yang otoriter jika negara itu bersandar kepada hukum agama. Harus diketahui bahwa agama pada masa itu sesungguhnya adalah peradaban dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Sebelumnya para pemikir Yunani hampir sepakat bahwa kekuasaan politik (negara) tidak berdasar kepada otoritas orang per orang, melainkan kepada apa yang disebut isonomia. Konsep isonomia inilah yang di zaman modern disebut sebagai rule of law (hukum). Inggris modern adalah contoh terbaik di mana negara berdiri di atas rule of law.
C. Umran dan Spesialisasi Profesi
Umran dapat dimaknai juga sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai “umran” oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.
Judul fasal ini adalah “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme”. Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).
Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah).
Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i” bentuk plural dari :shani’ah” yang dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-ulum” atau ilmu.
Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-ulum” dan “al-shana’i”. Begitu pula saat umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya :
a) “jazzar”yakni profesi penyembelihan hewan,
b) “dabbagh” yakni penyamakan atau pengolahan kulit,
c) “kharraz” yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian,
d) “sha’igh” yakni jewellery atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan,
e) “dahhan” pembuatan parfum,
f) “shaffar” yakni pengolahan kuningan,
g) “al-hammami” yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu),
h) “al-tabbakh” yakni usaha restoran,
i) “shamma” yakni kerajinan lilin,
j) “al-harras” usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.
Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’al-thubul ala al-tauqi’. Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun” yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam.
Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu. Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah” yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.
Observasi Ibn Khaldun ini jelas bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih. Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya dan menggantinya dengan kecakapan baru.
Hal ini menurut Ibn Khaldun bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.
Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual.
Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam umran atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.
Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.
D. Khaldun dan Ilmu Ekonomi
Pengamatan Ibn Khaldun yang jeli dan kemampuannya untuk membuat ekstrapolasi ini terutama mengaitkan antara gejala umran dengan kegiatan ekonomi membuat karya historisnya dapat menjadi bahan pengkajian ilmu ekonomi. Pemikirann tentang spesialisasi seperti telah dikemukakan di atas merupakan salah satu hal yang penting dalam ilmu ekonomi, terutama mengenai “pembagian kerja” yang baru dikemukakan Adam Smith 200 tahun kemudian, itupun sebagai efek dari perdagangan bebas yang diasumsikannya dapat berkembang baik.
Pemikiran Ibn Khaldun yang lain mengenai ilmu ekonomi berkisar pada hal-hal berikut ini :
1. Spesialisasi lahir dari kerjasama
Pemikiran Khaldun menegaskan satu logika pertumbuhan ekonomi yang khas:
a) Agama merekatkan ashabiyyah (sentiment sosial)
b) Ashabiyyah menciptakan kerjasama antar orang
c) Kerjasama akan memaksa lahirnya spesialisasi dan kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat
d) Kelebihan dari pemenuhan kebutuhan sendiri akan membuat masyarakat itu dapat mengekspor dan akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
2. Kemajuan ekonomi ditentukan oleh solidaritas ashabiyah, demografi, teknologi, dan lembaga hukum & pendidikan yang menunjang keilmuan-keahlian
Ibn Khaldun mengemukakan bahwa perubahan kemajuan menyebabkan perubahan struktur kelembagaan ekonomi dan teknologi. Keahlian dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan akan naiknya standard kehidupan sehingga membutuhkan lembaga pendidikan keahlian yang khas dan baru. Ini berarti pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengembangan lembaga dalam masyarakat, baik publik maupun swasta, untuk mendukung dan menyebar pengetahuan ilmiah.
Ini adalah pemikiran yang menarik dalam ekonomi. Bila semula Khaldun hanya menyatakan bahwa spesialisasi, pembagian kerja, pertukaran pribadi, dan masyarakat menghasilkan teknologi dan kenaikan skala ekonomi, maka pada bagian ini ia mengajukan perlunya perubahan lembaga keilmuan yang berorientasi pada keahlian.
Ibn Khaldun menulis: “The owner of property and conspicuous wealth in a given civilization needs a protective force to defend him” (2:250) “Para pemilik harta dan kekayaan yang besar dalam suatu peradaban membutuhkan kekuatan pelindung untuk membela dirinya” (2:250).
Ini adalah fakta yang diterima bahwa perekonomian tidak dapat berkembang tanpa perlindungan terhadap hak kekayaan, intelektual maupun fisik. Pelanggaran hak-hak milik pribadi oleh pemerintah atau pihak swasta lainnya akan menyebabkan pengurangan insentif sektor swasta untuk memproduksi dan akan mengurangi aktivitas ekonomi. Di sinilah perlunya peran pemerintah dalam memberikan jaminan keamanan dalam pembentukan lembaga pemberi jaminan hukum.
3. Nafsu Mementingkan Diri Sendiri akan Menghasilkan Kehancuran Ekonomi
Pemikiran Khaldun mengenai penyebab tumbuh dan matinya peradaban dapat menjadi dasar bagi rumusan tesis ini, bahwa nafsu mementingkan diri sendiri justru menjadi penyebab jatuhnya perekonomian.
“It should be known that at the beginning of a dynasty, taxation yield large revenue from small assessments. At the end of the dynasty, taxation yield a small revenue from large assessment.”(2:80)
"Perlu diketahui bahwa pada awal dinasti, hasil pendapatan perpajakan besar dari kegiatan usaha kecil. Pada akhir dinasti, perpajakan menghasilkan pendapatan kecil dari kegiatan usaha besar "(2:80)
“In the latter years of the dynasty (taxation) may become excessive. Business fall off and all hopes (of profit) are destroyed.”
"Pada tahun-tahun terakhir dari dinasti (perpajakan) dapat menjadi berlebihan. Bisnis jatuh dan semua harapan (keuntungan) yang hancur. "
Penyebabnya adalah nafsu memenuhi keuntungan pribadi dan menguasai semua hal untuk kepentingan pribadi.
“The corrupting influence of power demoralizes the social system and produces a climate of thought and emotion in which assabiyah becomes ineffectual. The frequent misuse of power leaves the masses depressed and they drift towards deceit and treachery.”
"Pengaruh merusak daya mendemoralisasi sistem sosial dan menghasilkan iklim pemikiran dan emosi di mana assabiyah menjadi tidak efektif. Penyalahgunaan kekuasaan sering meninggalkan massa tertekan dan mereka melayang ke arah penipuan dan pengkhianatan. "
“The trouble and financial difficulty and the loss of profit which it causes the subjects takes away all incentives to effort, thus ruining the fiscal structure. The trading of the ruler may cause the destruction of civilization” (2:95)
"Masalah dan kesulitan keuangan dan kehilangan keuntungan yang menyebabkan subyek mengambil semua insentif untuk usaha pribadinya, sehingga merusak struktur fiskal. Perdagangan penguasa dapat menyebabkan kehancuran peradaban (2:95)
“ Commercial activity on the part of the ruler is harmful to his subjects and ruinous to the tax revenue. Competition between them (the subjects) already exhausttheir financial resources. Now when the ruler; who has so much more money than they, competes with them, scarcely a single one of them will be able to obtain the things he want (the subject) thus exhaust his capital and has to go out of business.” 2:83-85
"Kegiatan Komersial yang dilakukan penguasa berbahaya bagi rakyatnya dan menghancurkan sector penerimaan pajak. Persaingan di antara mereka (subyek) akan menghilangkan sumber daya keuangan mereka. Sekarang ketika penguasa; yang memiliki begitu banyak uang lebih dari mereka, bersaing dengan mereka, nyaris tidak satu pun dari mereka akan dapat memperoleh hal-hal yang dia inginkan sehingga buang-buang modal dan keluar dari bisnis. "2:83-85
“Were the ruler to compare the revenue from taxes with the small profit (it reaps from trading) it would find the latter negligible in comparison with the former”
"Pada saat penguasa membandingkan pendapatan dari pajak dengan keuntungan kecil (menuai dari penjualan) ia akan mengutamakan yang terakhir dan mengabaikan pajak"
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn al-Khalid ibn 'Usman ibn Hani ibn al-Kathab ibn Kuraib ibn Ma'dikarib ibn Harish ibn Wail ibn Hujr. Nama Ibn Khaldun, sebutan yang populer untuk dirinya, dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ke sembilan, yaitu al-Khalid. Khalid ibn Usman adalah nenek-moyangnya yang pertama kali memasuki Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab lainnya pada abad ke-8 M. Ia menetap di Carmona, sebuah kota kecil yang terletak antara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada. Kemudian keturunan Khalid di Andalusia ini dikenal dengan sebutan Banu Khaldun yang di kemudian hari melahirkan sejarawan besar 'Abdurrahman ibn Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332 M. Fase pertama Ibn Khaldun dihabiskan di Tunisia dalam jangka waktu 18 tahun, anara tahun 1332 sampai 1350. Pada waktu iu, ayah Ibn Khaldun adalah guru pertamanya yang telah mendidiknya secara tradisional mengajarkan dasardasar agama Islam. Muhammad ibn Muhammad, ayah Ibn Khaldun, adalah seorang yang berpengetahuan agama yang tinggi. Pendidikan Ibn Khaldun yang dilakukan ayahnya tidak berlangsung lama, karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1349. Semenjak kematian ayahnya, Ibn Khaldun mulai belajar mandiri dan bertanggung jawab. Dari sinilah Ibn Khaldun mulai hidup sebagai manusia dewasa yang tidak menggantungkan diri kepada keluarganya.
Selain dari ayahnya, Ibn Khaldun juga mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan dari para gurunya di Tunis. Ibn Khaldun menyebutkan beberapa gurunya yang berjasa dalam perkembangan intelektualnya, di antaranya Abu 'Abdillah Muhammad ibn Sa'id al-Anshari dan Abu al-'Abas Ahmad ibn Muhammad al-Batharni dalam ilmu qira'at; Abu 'Abdillah ibn al-'Arabi alHashayiri dan Abu al-'Abbas Ahmad ibn al-Qashar dalam ilmu gramatika Arab; Abu 'Abdillah Muhammad ibn Bahr dan Abu 'Abdillah ibn Jabir al-Wadiyasyi dalam ilmu sastra; Abu 'Abdillah ibn 'Abdillah al-Jayyani dan Abu 'Abdillah ibn 'Abd Salam dalam ilmu fiqh; Abu Muhammad ibn 'Abd Muhaimin al -Hadhrami dalam ilmu hadis; Abu al-'Abbas Ahmad al-Zawawi dalam ilmu tafsir; dan Abu 'Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili dalam bidang 'ulum 'aqliyyah, seperti filsafat, logika, dan metafisika.
Pada fase kedua Ibn Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez, Granada, Bougie, Biskara, dan lain-lain dalam jangka waktu 32 tahun antara tahun 1350 sampai 1382 M. Pendidikan yang diterima Ibn Khaldun, baik dari orang tuanya sendiri maupun dari para gurunya, sangat mempengaruhi perkembangan intelektualnya. Oleh karena itu, mudah dipahami mengapa Ibn Khaldun mengalami kesedihan yang mendalam ketika terjadi wabah pes yang secara epidemik telah menyerang belahan dunia bagian Timur dan Barat. Semenjak peristiwa inilah Ibn Khaldun terpaksa menghentikan belajarnya dan mengalihkan pada bidang pemerintahan.
Karir pertama Ibn Khaldun daam bidang politik pemerintahan adalah sebagai Shabib al-'Allamah (Penyimpan Tanda Tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad ibn Tafrakin di Tunisia. Setelah itu, Ibn Khaldun menjadi Sekretaris Kesultanan di Fez, yaitu Abu 'Inan yang menjadi raja Maroko. Di kota inilah Ibn Khaldun memulai karirnya dalam dunia politik praktis pada tahun 1345. Selama delapan tahun tinggal di Fez, banyak perilaku politik yang telah dilakukan Ibn Khaldun. Ibn Khaldun pernah merasakan penjara selama 21 bulan yang disebabkan kecurigaan Sultan 'Inan, dan kemudian dibebaskan oleh Abu Salim saat menjabat sebagai Sultan Maroko. Karena kekacauan politik yang terjadi di Fez, Ibn Khaldun akhirnya memantapkan diri pergi dari Fez dan pergi ke Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26 Desember 1362 M. Setahun berikutnya, Ibn Khaldun ditunjuk oleh raja Granada, Abu 'Abdillah Muhammad ibn Yusuf ibn Isma'il ibn Ahmar, sebagai duta ke istana raja Pedro El Curel, raja Kristen Castilla di Sevilla. Sebagai seorang diplomat yang ditugaskan untuk mengadakan perjanjian damai antara Granada dengan Sevilla. Karena keberhasilan yang luar biasa dalam menjalankan tugas diplomatiknya, Raja Muhammad memberikan kepada Ibn Khaldun tempat dan kedudukan yang semakin penting di Granada. Jabatan yang diduduki Ibn Khaldun ternyata telah menyebabkan rasa iri beberapa pihak, termasuk sahabatnya sendiri yang menjadi perdana menteri, Ibn al-Khathib. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan, Ibn Khaldun akhirnya memutuskan untuk kembali ke Afrika Utara. Di Afrika Utara, beberapa kali Ibn Khaldun mendapat tawaran jabatan politik dari para Amir (Gubernur), dan untuk ke sekian kalinya Ibn Khaldun berpindah tangan dari satu penguasa ke penguasa lainnya.
Setelah sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis yang penuh resiko dan tantangan, Ibn Khaldun sampai pada suatu kesimpulan bahwa bergerak dalam dunia ini, meskipun memiliki dinamika sendiri, tidak membawa ketenteraman dan kebahagiaan bagi diri dan keluarga. Ibn Khaldun merasa jenuh dan lelah untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri kesarjanaannya telah memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak dan tantangan. Pada kondisi jiwa seperti inilah ibn Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut dengan istilah khalwat Ibn Khaldun.
Masa khalwat ini dialami Ibn Khaldun dalam jangka empat tahun dari tahun 1374 sampai 1278 M. Ibn Khaldun mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang dikenal dengan sebutan Qal'at Ibnu Salamah. Di tempat ini Ibn Khaldun dapat terbebas dari kesusahan dan hura-hura politik. Dalam masa pengunduran diri inilah Ibn Khaldun berhasil merampungkan karyanya alMuqaddimah, yang populer dengan sebutan Muqaddimah Ibn Khaldun.
Setelah al-Muqaddimah rampung ditulis, pada tahun 1378, Ibn Khaldun meninggalkan Qal'at Ibn Salamah menuju Tunis. Ada beberapa alasan mengapa Ibn Khaldun kembali ke Tunis. Kebanyakan sejarawan menjelaskan bahwa kembalinya Ibn Khaldun ke Tunis adalah karena didorong oleh keinginannya untuk menyelesaikan Kitab al-Ibar-nya. Tunis dipandang oleh Ibn Khaldun sebagai kota paling tepat, karena memiliki banyak perpustakaan yang kaya akan referensi yang diperlukannya. Di samping itu, kerinduan Ibn Khaldun akan Tunis sebagai kota tempat kelahirannya dan kerinduannya akan kehidupan politik juga dapat dijadikan alasan lain dalam masalah ini.
Kerinduan Ibn Khaldun akan kota kelahirannya tidak dapat berlangsung lama, karena beberapa temannya memperlihatkan sikap bermusuhan kepadanya. Oleh karena itu, Ibn Khaldun memutuskan untuk pergi menunaikan ibadah haji. Ibn Khaldun meninggalkan Tunis pada 28 Oktober 1382 menuju kota Makkah. Dalam perjalanannya menuju Makkah, ia menyempatkan diri untuk singgah di Kairo. Dengan kepergiannya ke Kairo ini, maka berakhirlah petualangan Ibn Khaldun sebagai seorang politikus yang banyak terlibat dalam intrik politik. Masa ini merupakan fase ketiga dari tahapan kehidupan Ibn Khaldun. Fase ini dihabiskan di Mesir selama kurang lebih 24 tahun, yaitu antara 1382 sampai 1406 M. Fase ini dapat dikatakan sebagai masa pengabdian Ibn Khaldun dalam bidang akademik dan pengadilan. Ibn Khaldun tiba di Kairo, Mesir, pada 6 Januari 1382 M. Mesir ketika itu berada dalam kekuasaan dinasti Mamluk. Pada masa ini telah dikembangkan hubungan perdagangan dengan raja-raja Kristen di Eropa. Oleh karena itu, wajar apabila Ibn Khaldun merasa kagum dengan kemajuan peradaban yang telah dicapai Kairo.
Selain berkarya dalam dunia akademik, Ibn Khaldun juga melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan reformasi hukum. Pada tanggal 8 Agustus 1384, Ibn Khaldun diangkat oleh Sultan Mesir, al-Zahir Barquq, sebagai Hakim Agung Mazhab Maliki pada Mahkamah Mesir. Jabatan yang dipangku dengan penuh tanggung ini dimanfaatkan Ibn Khaldun untuk melakukan reformasi dalam bidang hukum. Akan tetapi, reformasi ini ternyata telah membuat banyak fihak yang dirugikan yang kemudian menjadi marah dan dengki kepadanya. Akibat fitnah yang dituduhkan kepadanya Ibn Khaldun pun, meskipun tidak terbukti bersalah, ia mengundurkan diri dari jabatan itu.
Pada tahun 1387, rencana Ibn Khaldun yang tertunda, yakni menunaikan ibadah haji baru dapat dilaksanakan. Sepulang dari ibadah haji, Ibn Khaldun diangkat lagi sebagai Hakim Agung Mahkamah Mesir. Sultan yang berkuasa di Mesir ketika itu adalah Nashir Faraj, putera Sultan Barquq. Pada masa ini, ia sempat berkunjung ke Damaskus dan Palestina menyertai Sultan dalam rangka kunjungan untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan tentara Mongol. Ibn Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun di Mesir. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman para sufi di luar Bab alNashir, Kairo.
B. Siklus Umran
Ibn Khaldun memakai istilah umran yang dalam kesarjanaan modern diterjemahkan sebagai peradaban. Dia menemukan sebuah pola tumbuh-kembang peradaban. Peradaban akan berkembang sangat ditentukan oleh adanya sentimen primordial atau solidaritas sosial. Dia menyebutnya Ashabiyah. Adanya perasaan senasib sepenanggungan menyebabkan sentimen primordial itu menjadi demikian kuat. Masyarakat nomaden memiliki sentimen primordial jauh lebih kuat daripada masyarakat kota yang tinggal menetap.
Menurut Ibn Khaldun, puncak dari Ashabiyyah adalah terbentuknya otoritas politik (dawlah). Bertahan tidaknya sebuah negara tergantung kepada sejauh mana solidaritas primordial itu tetap terjaga. Tetapi, dawlah justru menjadi pintu masuk kepada rusaknya sentimen primordial. Karena pembentukan dawlah berarti mengakhiri masa-masa sulit dan dimulainya hidup menetap di kota. Itu artinya kemewahan menjadi realitas yang dinikmati. Pada saat itulah, suatu Negara mengalami fase ketiga yaitu kemunduran dan hasrat untuk mempertahankan kekuasaan adalah penyebabnya. Ia menemukan bahwa semua otoritas politik memiliki karakter utama yang sama, yakni keinginan untuk mempertahankan kekuasaan selama-lamanya.
Menurut Ibn Khaldun penguasa cenderung otoriter, maka diperlukan penegakan hukum agama. Kekuasaan akan bisa diselamatkan dari tangan penguasa yang otoriter jika negara itu bersandar kepada hukum agama. Harus diketahui bahwa agama pada masa itu sesungguhnya adalah peradaban dan budaya yang berkembang di dalam masyarakat. Sebelumnya para pemikir Yunani hampir sepakat bahwa kekuasaan politik (negara) tidak berdasar kepada otoritas orang per orang, melainkan kepada apa yang disebut isonomia. Konsep isonomia inilah yang di zaman modern disebut sebagai rule of law (hukum). Inggris modern adalah contoh terbaik di mana negara berdiri di atas rule of law.
C. Umran dan Spesialisasi Profesi
Umran dapat dimaknai juga sebagai “urbanisme” atau gejala meng-kota. Sebab, apa yang disebut sebagai “umran” oleh Ibn Khaldun selalu dikaitkan dengan fenomena kota (al-hadhar) sebagai lawan dari gejala masyarakat badui yang cenderung nomaden.
Judul fasal ini adalah “Perihal bahwa profesi-profesi akan mengalami penyempurnaan seturut dengan kian sempurna dan menyebarnya gejala urbanisme”. Dalam bagian ini, Ibn Khaldun mengemukakan suatu observasi yang menarik yang paralel dengan teori sosiologi modern mengenai “pembagian kerja” dan diferensiasi sosial.
Ia mengatakan bahwa masyarakat yang belum mencapai suatu kematangan dalam urbanisme di mana kota-kotanya belum berkembang (tatamaddan al-madinah) cenderung untuk memusatkan diri pada usaha untuk mencukupi kebutuhan subsisten, yaitu mengusahakan bahan pangan pokok (al-aqwat). Setelah tahap ini terlampaui, dan kota-kota mereka kian maju, serta sejumlah bidang pekerjaan (al-a’mal) mulai muncul, maka pelan-pelan mereka akan mulai memanfaatkan surplus kekayaan yang ada (al-zai’d) untuk hal-hal yang bersifat kemewahan hidup, “luxuries” (al-kamalat min al-ma’ash).
Ada dua aspek yang inheren pada manusia yang menyebabkan terjadinya gejala seperti ini. Pertama, aspek yang menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, yaitu intelektualitas (fikr), dan aspek kehewanan serta nutritif (al-hayawaniyyah wa al-ghidza’iyyah).
Yang menarik, Ibn Khaldun memakai istilah “al-shana’i” bentuk plural dari :shani’ah” yang dalam tulisan ini diterjemahkan sebagai “profesi”. Mungkin terjemahan ini kurang terlalu tepat. Istilah yang mungkin mendekati adalah “craft” atau kerajinan tangan. Jika industrialisasi sudah muncul dalam peradaban Islam saat itu, tentu istilah itu akan tepat kita terjemahkan sebagai “teknologi”. Selain istilah ini, Ibn Khaldun juga memakai istilah lain yang sudah lazim dipakai pada saat itu, yakni “al-ulum” atau ilmu.
Suatu urbanisme yang matang dan berkembang maju, menurut Ibn Khaldun, akan dibarengi oleh perumitan dan pencanggihan di bidang “al-ulum” dan “al-shana’i”. Begitu pula saat umran atau urbanisme merosot, kemajuan dalam bidang ilmu dan kerajinan juga akan mengalami kemerosotan pula. Ia menyebut sejumlah profesi yang ada pada saat itu, misalnya :
a) “jazzar”yakni profesi penyembelihan hewan,
b) “dabbagh” yakni penyamakan atau pengolahan kulit,
c) “kharraz” yakni semacam usaha pengolahan kulit untuk menjadi bahan pakaian,
d) “sha’igh” yakni jewellery atau pengolahan emas menjadi bahan-bahan perhiasan,
e) “dahhan” pembuatan parfum,
f) “shaffar” yakni pengolahan kuningan,
g) “al-hammami” yakni usaha mandi uap (semacam industri spa yang sekarang menjamur di Jakarta itu),
h) “al-tabbakh” yakni usaha restoran,
i) “shamma” yakni kerajinan lilin,
j) “al-harras” usaha yang berkaitan dengan pembuatan permen dan kue.
Ibn Khaldun juga menyebut jenis-jenis usaha lain yang menarik, misalnya, kursus musik, tari dan memainkan alat-alat perkusi (mu’allim al-ghina’ wa al-raqs wa qar’al-thubul ala al-tauqi’. Bidang pekerjaan lain yang disebut Ibn Khaldun dan penting peranannya dalam reproduksi intelektual Islam pada saat itu adalah “al-warraqun” yakni profesi penulisan manuskrip buku. Pada saat itu, penggunaan kertas sudah mulai dikenal luas dalam peradaban Islam, sehingga memudahkan penyebaran karya-karya para sarjana Islam.
Pada penutup pengamatannya, Ibn Khaldun mengatakan bahwa “kemewahan urban” ini hanya ada di Kairo yang sangat maju saat itu, tetapi tak berkembang di Maghrib atau Tunisia/Maroko, tempat di mana dia tinggal saat itu. Pengamatan Ibn Khaldun ini didasarkan pada suatu teori pengetahuan tertentu, atau tepatnya teori mengenai proses kejiwaan. Menurut dia, makin seseorang mendekati keadaan “alamiah” yakni keadaan ketika seseorang belum mengalami proses belajar untuk memperoleh kecakapan tertentu, maka makin mudahlah ia untuk mempelajari kecakapan tersebut. Sebaliknya, jika ia telah mempelajari suatu kecakapan tertentu, maka ia akan sulit untuk mempelajari kecakapan lain dalam derajat kecanggihan yang sama.
Observasi Ibn Khaldun ini jelas bukan ia peroleh dari “meditasi” di perpustakaan, tetapi berdasarkan apa yang ia lihat dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks sejumlah kota besar yang berkembang pada zamannya di mana “umran” atau urbanisme mencapai tahap yang sangat canggih. Ibn Khaldun memberikan contoh: jika seseorang mencapai suatu keunggulan dalam bidang kecakapan jahir-menjahit (khayyath/khiyathah), begitu rupa sehingga kecakapan itu meresap dengan mendalam dalam dirinya (rasakhat fi nafsihi), maka ia amat sulit sulit untuk bisa unggul dalam, misalnya, bidang pertukangan kayu atau bangunan (nijarah/bina’). Kecuali jika dia belum begitu menguasai dengan benar kecakapan menjahir, maka ia bisa belajar kecakapan pertukangan dengan mudah. Tetapi, begitu satu kecakapan telah meresap dengan mendalam dalam dirinya, ia sulit mengusirnya dan menggantinya dengan kecakapan baru.
Hal ini menurut Ibn Khaldun bukan saja berlaku pada sejumlah ilmu terapan yang mengandaikan pekerjaan tangan, tetapi juga pada ilmu-ilmu yang lebih bersifat konseptual. Jika seseorang menguasai “kecakapan intelektual” (malakah fikriyyah) tertentu, maka ia akan sulit untuk menguasai kecakapan lain dalam derajat yang sama.
Ibn Khaldun tentu tidak mengabaikan adanya sejumlah kasus perkecualian. Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa sedikit sekali orang yang bisa “unggul” dalam derajat yang sama dalam sejumlah kecakapan, baik kecakapan tangan atau konseptual.
Tampaknya ada sesuatu yang secara implisit hendak dikatakan oleh Ibn Khaldun melalaui observasinya tentu ini tidak dapat kita baca dalam bukunya secara harafiah. Observasi ini, tampaknya, hendak mengatakan bahwa spesialisasi adalah sesuatu yang inheren dalam umran atau urbanisme tinggi. Spesialisasi mengandaikan bahwa seseorang mencurahkan seluruh tenaga intelektualnya untuk satu hal hingga ia mencapai keunggulan di sana. Karena itu, amat susah sejumlah spesialisasi dikuasai dengan baik dan serentak oleh seseorang.
Dengan kata lain, istilah “shina’ah” yang kerapkali dipakai Ibn Khaldun sebetulnya dapat kita tafsirkan sebagai semacam indikasi ke arah spesialisasi.
D. Khaldun dan Ilmu Ekonomi
Pengamatan Ibn Khaldun yang jeli dan kemampuannya untuk membuat ekstrapolasi ini terutama mengaitkan antara gejala umran dengan kegiatan ekonomi membuat karya historisnya dapat menjadi bahan pengkajian ilmu ekonomi. Pemikirann tentang spesialisasi seperti telah dikemukakan di atas merupakan salah satu hal yang penting dalam ilmu ekonomi, terutama mengenai “pembagian kerja” yang baru dikemukakan Adam Smith 200 tahun kemudian, itupun sebagai efek dari perdagangan bebas yang diasumsikannya dapat berkembang baik.
Pemikiran Ibn Khaldun yang lain mengenai ilmu ekonomi berkisar pada hal-hal berikut ini :
1. Spesialisasi lahir dari kerjasama
Pemikiran Khaldun menegaskan satu logika pertumbuhan ekonomi yang khas:
a) Agama merekatkan ashabiyyah (sentiment sosial)
b) Ashabiyyah menciptakan kerjasama antar orang
c) Kerjasama akan memaksa lahirnya spesialisasi dan kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat
d) Kelebihan dari pemenuhan kebutuhan sendiri akan membuat masyarakat itu dapat mengekspor dan akhirnya menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
2. Kemajuan ekonomi ditentukan oleh solidaritas ashabiyah, demografi, teknologi, dan lembaga hukum & pendidikan yang menunjang keilmuan-keahlian
Ibn Khaldun mengemukakan bahwa perubahan kemajuan menyebabkan perubahan struktur kelembagaan ekonomi dan teknologi. Keahlian dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan akan naiknya standard kehidupan sehingga membutuhkan lembaga pendidikan keahlian yang khas dan baru. Ini berarti pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengembangan lembaga dalam masyarakat, baik publik maupun swasta, untuk mendukung dan menyebar pengetahuan ilmiah.
Ini adalah pemikiran yang menarik dalam ekonomi. Bila semula Khaldun hanya menyatakan bahwa spesialisasi, pembagian kerja, pertukaran pribadi, dan masyarakat menghasilkan teknologi dan kenaikan skala ekonomi, maka pada bagian ini ia mengajukan perlunya perubahan lembaga keilmuan yang berorientasi pada keahlian.
Ibn Khaldun menulis: “The owner of property and conspicuous wealth in a given civilization needs a protective force to defend him” (2:250) “Para pemilik harta dan kekayaan yang besar dalam suatu peradaban membutuhkan kekuatan pelindung untuk membela dirinya” (2:250).
Ini adalah fakta yang diterima bahwa perekonomian tidak dapat berkembang tanpa perlindungan terhadap hak kekayaan, intelektual maupun fisik. Pelanggaran hak-hak milik pribadi oleh pemerintah atau pihak swasta lainnya akan menyebabkan pengurangan insentif sektor swasta untuk memproduksi dan akan mengurangi aktivitas ekonomi. Di sinilah perlunya peran pemerintah dalam memberikan jaminan keamanan dalam pembentukan lembaga pemberi jaminan hukum.
3. Nafsu Mementingkan Diri Sendiri akan Menghasilkan Kehancuran Ekonomi
Pemikiran Khaldun mengenai penyebab tumbuh dan matinya peradaban dapat menjadi dasar bagi rumusan tesis ini, bahwa nafsu mementingkan diri sendiri justru menjadi penyebab jatuhnya perekonomian.
“It should be known that at the beginning of a dynasty, taxation yield large revenue from small assessments. At the end of the dynasty, taxation yield a small revenue from large assessment.”(2:80)
"Perlu diketahui bahwa pada awal dinasti, hasil pendapatan perpajakan besar dari kegiatan usaha kecil. Pada akhir dinasti, perpajakan menghasilkan pendapatan kecil dari kegiatan usaha besar "(2:80)
“In the latter years of the dynasty (taxation) may become excessive. Business fall off and all hopes (of profit) are destroyed.”
"Pada tahun-tahun terakhir dari dinasti (perpajakan) dapat menjadi berlebihan. Bisnis jatuh dan semua harapan (keuntungan) yang hancur. "
Penyebabnya adalah nafsu memenuhi keuntungan pribadi dan menguasai semua hal untuk kepentingan pribadi.
“The corrupting influence of power demoralizes the social system and produces a climate of thought and emotion in which assabiyah becomes ineffectual. The frequent misuse of power leaves the masses depressed and they drift towards deceit and treachery.”
"Pengaruh merusak daya mendemoralisasi sistem sosial dan menghasilkan iklim pemikiran dan emosi di mana assabiyah menjadi tidak efektif. Penyalahgunaan kekuasaan sering meninggalkan massa tertekan dan mereka melayang ke arah penipuan dan pengkhianatan. "
“The trouble and financial difficulty and the loss of profit which it causes the subjects takes away all incentives to effort, thus ruining the fiscal structure. The trading of the ruler may cause the destruction of civilization” (2:95)
"Masalah dan kesulitan keuangan dan kehilangan keuntungan yang menyebabkan subyek mengambil semua insentif untuk usaha pribadinya, sehingga merusak struktur fiskal. Perdagangan penguasa dapat menyebabkan kehancuran peradaban (2:95)
“ Commercial activity on the part of the ruler is harmful to his subjects and ruinous to the tax revenue. Competition between them (the subjects) already exhausttheir financial resources. Now when the ruler; who has so much more money than they, competes with them, scarcely a single one of them will be able to obtain the things he want (the subject) thus exhaust his capital and has to go out of business.” 2:83-85
"Kegiatan Komersial yang dilakukan penguasa berbahaya bagi rakyatnya dan menghancurkan sector penerimaan pajak. Persaingan di antara mereka (subyek) akan menghilangkan sumber daya keuangan mereka. Sekarang ketika penguasa; yang memiliki begitu banyak uang lebih dari mereka, bersaing dengan mereka, nyaris tidak satu pun dari mereka akan dapat memperoleh hal-hal yang dia inginkan sehingga buang-buang modal dan keluar dari bisnis. "2:83-85
“Were the ruler to compare the revenue from taxes with the small profit (it reaps from trading) it would find the latter negligible in comparison with the former”
"Pada saat penguasa membandingkan pendapatan dari pajak dengan keuntungan kecil (menuai dari penjualan) ia akan mengutamakan yang terakhir dan mengabaikan pajak"
Sumber :
Annes, Bambang Q. Dan M.Anthon Athoillah. Tanpa Tahun.” Filsafat Ekonomi Islam”.Tanpa Kota: Sahifa.
Comments
Post a Comment